Karakteristik Islam di Aceh pada abad XIX

Perpaduan Adat dan Syariat Islam di Aceh

Aceh terletak di ujung Pulau Sumatera, merupakan bagian yang paling utara dan paling barat dari Kepulauan Indonesia atau antara 95o 13′ dan 98o 17′ Bujur Timur dan antara 2o 48′ dan 5o 40′ Lintang Utara. Di sebelah Barat terbentang Lautan Hindia sementara di sebelah utara dan timurnya terletak Selat Malaka. Dalam posisi geografisnya yang demikian itu atau sebagai gerbang sebelah barat utnuk masuk ke Nusantara, menjadikan Aceh sarat dengan kontak budaya dan pengaruh dari luar. Salah satu diantaranya ialah agama Islam.

Berdasarkan beberapa sumber disimpulkan oleh para sejarawan dan arkeolog bahwa agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah di daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa Islam yang masuk ini, yaitu Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur di daerah Persia dan Gujarat (India). Masuk dan kemudian berkembangnya Islam di Aceh, telah menjadikan rakyat Aceh secara keseluruhan menganut agama Islam. Namun karena Islam yang masuk ini Islam yang telah berbaur dengan unsur-unsur budaya Persia dan India sehingga telah memberi corak tersendiri terhadap budaya dan agama di Aceh.

Pengaruh agama Islam yang begitu kuat menyebabkan pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari sedapat mungkin disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam. Sebaliknya, juga praktik-praktik keagamaan, mereka sesuaikan pula dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat yang tercakup sebagai unsurnya telah diwarnai dengan ajaran agama Islam. Akibatnya, antara budaya dan agama telah menyatu, sehingga sukar untuk dipilah dan dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu “Adat ngon hukom hanjeut cree lagee zat ngon sifeut”, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Di sini kaidah Islam sudah merupakan bagian daripada adat atau telah diadatkan.

Dalam kaitan dengan hal tersbut di atas, masyarakat Aceh ada pula ketentuan bahwa adat itu ada dua yang dalam istilah Aceh disebut adat na dua, yaitu 1. Adatullah nyang hana ubah si umu masa (ketentuan Allah yang tidak berubah sepanjang masa) dan 2. Adatul muhakamah (adat kebiasaan masyarakat yang berdasarkan kepada syariat Islam). Di sini berarti bahwa adat dengan syariat Islam merupakan suatu yang kembar, yang selalu dipadukan. Dalam sebuah kitab yang berjudul Thadikirat al Radikin buah tangan Teungku Chik Kuta Karang salah seprang ulama terkenal Aceh abad ke XIX, menyebutkan bahwa Adat ban adat hukom ban hukom, adat dengan hukom sama kembar, tatkala mupakat adat dengan hukom, nanggroe seunang hana goga. Artinya adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat, adat dengan hukum syariat sama kembar, tatkala mufakat adat dengan syariat, negeri senang tiada huru hara. Dengan demikian, hubungan antara adat dengan hukum syariat adalah hubungan sub-ordinasi, satu dengan yang lainnya saling terkait dan adat berada dalam garis pengawasan agama.

Sehubungan dengan perpaduan antara agama dengan adat di Aceh, tercermin pula dalam unsur pemerintahannya. Dalam pemerintahan ini terdapat dua kelompok aparat melaksanakan yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan batas wewenang masing-masing. Pertama mereka yang hanya mengurai masalah keduniawian (adat) dan kedua yang khusus mengurusi masalah keagamaan (Syariat). Kelompok pertama dapat dijumpai mulai unit pemerintahan tertinggi hingga unit pemerintahan terendah. Contohnya, Sultan sebagai unit pemerintahan tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, uleebalang (hulubalang) sebagai unit pemerintahan nanggroe (negeri); panglima Sagoe (panglima sagi) yang memerintah unit pemerintahan sagi (sagi merupakan unit pemerintahan khusus terdapat di Aceh Besar. Jumlah sagi ada tiga, yaitu sagi XXII Mukim, sagi XXV Mukim dan sagi XXVI Mukim. Angka XXII, XXV, XXVI menunjukkan jumlah Mukim yang ada di wilayah sagi yang bersangkutan); kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim (Mukim adalah unit pemerintahan yang lebih besar daripada Gampong). Sejumlah Gampong yang letaknya berdekatan merupakan sebuah Mukim. Pada setiap Mukim harus terdapat sebuah mesjid tempat melaksanakan shalat Jum’at bagi penduduk keMukiman yang bersangkutan, dan keuchik (kepala kampung) yang merupakan unit pemerintahan terkecil. Kesemua pimpinan tersebut dalam struktur pemerintahan di Aceh di kenal sebagai pimpinan yang mengurusi masalah duniawi/adat atau pemimpin adat.

Sementara kelompok kedua, yaitu mereka yang mengurusi berbagai hal yang bekenaan dengan maslaah keagamaan, yaitu Kadhi yang mendampingi sultan dalam pemerintahan kerajaan, Kadhi uleebalang yang berada di wilayah nanggroe pendamping uleebalang. Imum Mukim yang mendampingi kepala Mukim pada unit pemerintahan Mukim dan bertindak juga sebagai imam shalat pada setiap hari Jum’at di sebuah mesjid dalam keMukiman bersangkutan; serta Teungku Meunasah pada unit pemerintahan Meunasah atau Gampong, keuchik sebagai pemimpin adat dan Teungku
Meunasah sebagai pemimpin agama diibaratkan sebagai “ayah” dan “ibu”. Kesemua yang mengelola masalah hukom (syariat agama) pada unit pemerintahan tersebut di kategorikan sebagai pemimpin agama. Kedua kelompok ini, pemimpin adat dan pemimpin agama hingga abad ke XIX masih menunjukkan hubungan yang harmonis. Contoh yang paling kongkrit dapat dilihat pada saat perang antara Belanda dengan Aceh. Pada saat itu, masyarakat Aceh dibawah pimpinan kedua kelompok ini (pemimpian adat dan pemimpin agama) telah melakukan perlawan yang mengakibatkan pihak Belanda kewalahan dalam perang tersebut.

Panggilan untuk kelompok pemimpin agama adalah Teungku, suatu gelar kehormatan bagi merek ayang di anggap ahli dalam ilmu agama Islam. Jadi Teungku bermakna identik dengan ulama, artinya orang alim yang menguasai ilmu khususnya pengetahuan tentang agama Islam. Dengan demikian, istilah Teungku adalah suatu institusi atau lembaga, yang di dalamnya terdiri atas beberapa tingkatan sesuai dengan tingkat kealiman yang dimilikinya. Bila kealimannya telah dianggap cukup tinggi oleh masyarakatnya, maka Teungku yang bersangkutan biasanya dipanggil dengan Teungku chiek atau Teungku syeih. Chiek artinya yang tertua atau yang sudah sangat mantang. Sementara syeikh, berasala dari kata bahasa Arab yang artinya “guru”. Teungku syeikhdalam masyarakat Aceh mengacu pada makna “mahaguru” atau ulama besar. Merupakan suatu kebiasaan pula dalam masyarakat Aceh, untuk tidak menyebut namanya lagi kepada seseorang ulama yang telah dianggap tinggi derajat dan martabat. Masyarakat hanya menyebutkan nama tempat kelahirannya ataupun tempat dimana ia berMukim dan mempunyai sebuah lembaga pendidikan agama yang dikelola olehnya. Di antara mereka yang cukup terkenal pada abad XIX, misalnya, Teungku Chiek di Tiro, panggilan arab untuk Teungku Syeikh Muhammad Saman yang lahir di Tiro Pidie. Teungku Chiek Tanoh Abee di Seulimuem Aceh Besar, Teungku Chiek Pante Geulima Mereudu Pidie, Teungku Chiek Pante Kulu Pidie, Teungku Chiek Kuta Karang di Aceh Besar, Teungku Chiek Samalanga di Aceh Utara, Teungku Chiek Awe Geutah Aceh Utara dan sebagainya.

Apabila Teungku-Teungku ini memegang sebuah jabatan tertentu yang berkaitan dengan hal keagamaan dalam masyarakat, maka gelar atau sebutan Teungku tersebut disertai dengan nama jabatannya itu. Misalnya, Teungku yang bertugas sebagai pendamping keuchik dalam urusan agama di sebuah Meunasah atau Gampong, sebutannya yaitu Teungku
Meunasah. Meunasah dapat diartikan langgar. Setiap Gampong mesti memiliki sebuah Meunasah. Di Meunasah inilah dilaksanakan seperti musyawarah/rapat, sebagai tempat beribadah bersama (shalat, kenduri Maulid Nabi Muhammad, kenduri memperingati Hasan Husen, kenduri peutamat Daruh atau tamat baca Al Qur’an di bulan Ramadhan, tempat pemberian fitrah di akhir Ramadhan, tempat pengajian dan pendidikan agama bagi anak-anak Gampong dan sebagainya), serta tempat menginap bagi anak-anak muda yang telah akhil baligh. Bagi TeungkuTeungku yang menduduki jabatan Kadhi (hakim agama) disebut dengan Teungku
Kadhi; yang menduduki jabatan imam sembahyang di mesjid-mesjid disebut imam mesjid atau Teungku imum (Teungku imam). Mereka yang sering mejadi khatib atau pembawa khutbah Jumat disebut Teungku khatib. Gelar Teungku dalam masyarakat Aceh juga diperuntukkan bagi wanita yang ulama.

Gampong atau Meunasah sebagaimana telah disebutkan adalah tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi/adat maupun yang berhubungan dengan masalah agama. Disinilah tempat penggembleng masyarakat Gampong agar mereka menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa. Oleh karenanya, tugas daripada Teungku
Meunasah adalah sangat penting. Adapun di antara tugas yang harus diemban oleh Teungku
Meunasah ialah sebagai berikut:

  1. Mengajar kepada penduduk Gampong agar mengenal dan taat kepada agama Islam.
  2. Membina pengajian anak-anak di Meunasah.
  3. Menuntun dan membimbing calon pengantin, baik pria maupun wanita sebelum menikah dalam Gampongnya.
  4. Membina mereka yang baru berumah tangga, agar rumah tangganya dapat berjalan menurut agama Islam.
  5. Menyelesaikan krisis rumah tangga bersama keuchik dan tuha peut (dewan orang tua berjumlah empat orang)
  6. Menyelesaikan sidang sengketa penduduk Gampong bersam keuchik dan tuha peut.
  7. Mengurus kematian yang dialami penduduk Gampong seperti memandikan jenazah, mengkafani, menyembahyangkan, membuka kubur, memimpin upacara penguburan, pembacaan talqin/doa dan sebagainya; serta memberi bimbingan mental kepada keluarga yang ditinggalkan agar dapat hidup tenang kembali.
  8. Membina mental dan keyakinan agama, agar rakyat tidak terpengaruh dengan paham-paham yang menyimpang dari agama.
  9. Memberi nasihat-nasihat keagamaan yang diperlukan penduduk sewaktu-waktu.
  10. Mengurusi peurae (pembagian harta warisan) bersama keuchiek dan tuah peut.

Tugas-tugas lain yang berkembang sewaktu-waktu yang harus dilayani oleh Teungku Meunasah.

Lembaga Pendidikan Keagamaan di Aceh

Dengan melihat tugas-tugas seperti tersebut diatas, maka Teungku
Meunasah harus dijabat oleh seseorang mengerti/paham tentang masalah agama yang istilah Aceh disebut dengan ureung nyang malem (orang yang mahir ilmu agama). Untuk menjadi ureung nyang malem, maka seseorang itu harus belajar melalui lembaga-lembaga yang berlaku di Aceh pada abad XIX diperkirakan sama dengan masa-masa sebelmunya. Anak-anak yang telah mencapai usia sekolah, pada tingkat dasar mereka belajar pada orang tuanya tau di rumah seorang Teungku yang khusus mengajar anak-anak dlaam suatu Gampong. Pendidikan biasanya dilaksankan pada waktu malam hari selepas maghrib atau pagi hari oleh seorang Teungku, baik pria maupun wanita. Disamping itu, untuk tingkat dasar ini, khusus untuk anak-anak pria dilaksanakan di Meunasah sebagai suatu lemabaga pendidikan yang dianggap formal. Gurunya, yaitu Teungku
Meunasah yang dibantu oleh seorang atau lebih Teungku laki-laki yang ditunjuk bersama oleh penduduk Gampong melalui mufakat.

Apabila seorang anak akan melanjutkan pendidikan untuk tingkat menengah dapat diteruskan pada suatu lembaga pendidikan yang didirikan hampir pada setiap mesjid. Tingkat pendidikan ini lazim disebut dengan rangkang yang pada umunya dibangun seperti bentuk rumah-rumah kecil yang sederhana di sekeliling mesjid, kecuali pada halaman depan. Rangkang ini dibangun oleh masyarakat Gampong yang ada dalam suatu wilayah Mukim tertentu. Pengelola rangkang adalah TeungkuTeungku yang telah memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dari rangkang, yang dibantu oleh asisten yang disebut Teungku rangkang, merangkap sebagai pimpinan pelajar istilah Aceh disebut murib (murid) yang tinggal di rangkang. Ia memberikan penjelasan ulang atau tambahan atas hal-hal yang belum jelas diterangkan Teungku/guree (guru).

Lembaga pendidikan yang lebih tinggi lagi, yaitu disebut dayah. Dayah berbeda dengan pembangunan rangkang. Pendiriannya biasanya atas inisiatif seorang Teungku atau Teungku chiek. Dayah yang didirikan atau dikelola oleh seorang Teungku chiek disebut dayah Teungku chiek. Seorang pemuda yang pergi belajar ke sebuah dayah disebut dengan istilah jak meudagang, yang artinya pergi menuntut ilmu yang biasanya berlokasi di luar wilayahnya. Sama halnya dengan di rangkang, pelajar yang sedang menuntut ilmu di dayah juga disebut murib (murid) dan gelar mereka juga Teungku. Anak-anak yang akan belajar ke suatu lembaga pendidikan keagamaan ini, biasanya diantar oleh orang tua mereka yang disebut jak intat beuet bak Teungku (pergi diantar mengaji kepada Teungku). Lazimnya disini berlaku adat bagi orang tua murid-murid membawa serta satu hidangan nasi ketan dan peralatan upacara tepung tawar yang disebut peusijuek untuk mengambil berkah. Setiap anak yang diantar ke rangkang atau dayah, mereka langsung tinggal disana dalam rumah-rumah kecil atau asrama yang telah disediakan di bawah pengawasan Teungku yang memimpin rangkang atau dayah yang bersangkutan.

Kegiatan belajar pendidikan keagamaan ini biasanya berlangsung pada malam hari, yaitu setelah maghrib dan setelah shalat Isya. Kadang-kadang juga pada pagi hari setelah shalat Shubuh dan pada sore hari setelah shalat Ashar. Kegiatan belajar itu berlangsung sepanjang minggu, kecuali malam Jumat yang umumnya digunakan untuk acara kesenian yang bernafaskan Islam, seperti belajar Qasidah, dalael, meurukon (semacam diskusi kelompok yang membahas masalah agama pesertanya dibagi dua kelompok serta tanya jawab yang berlangsung dengan cara dilagukan). Adapun metode pengajaran yang digunakan secara secara halawah, nonklasikal, sesuai dengan sifat tradisional dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Disini diutamakan si murib dapat membaca, menghafal, dan menterjemah. Awal dari semua pengajaran bagi murib adalah pengajian Al Quran. Oleh karenanya, pada tingkat dasar Teungku mula-mula memperkenalkan bunyi huruf (alif, ba, ta, tsa, dan seterusnya) atau kata-kata Arab seperti yang tertera dalam kitab Al Quran Juz Amma. Murib-murib biasanya duduk dengan formasi melingkar, mereka mengeja serta mengikuti apa yng dikatakan Teungku. Pada tahap ini lafal bacaan bahasa Arab lebih ditekankan dibanding pemahaman isi Al Quran. Pengajaran dasar ini hanya memberikan praktik kepada alat dengar, ingatan dan lidah; aturan pengajian seperti termuat dalam ilmu tajwid, yang disampaikan secara lisan kepada para murid oleh para guru mengaji. Akibatnya, seorang anak yang telah mengetahui arti dan makna ayat yagn dibacanya. Persoalan makna dan tafsir Al Quran pada tingkat dasar ini tidak mendapat tekanan yang penting. Hal ini baru diberikan pada tingkat berikutnya.

Materi pengajaran yang diberikan pada lembaga pendidikan keagamaan di Aceh hanya satu jenis ilmu yang dalam istilah Aceh eleume, dari kata Arab ilme, yaitu meliputi segela sesuatu yang harus dipercayai dan dilaksanakan orang sesuai dengan kehendak Allah seperti diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ilmu itu diarahkan untuk mencapai cita-cita yang tinggi dan mulia serta praktis, yakni kemungkinan manusia hidup demikian rupa menyenangkan Tuhan agar membukanya kepada pintu menuju keselamatan yang abadi. Ilmu tersebut berhubungan dengan masalah-masalah aqidah, ibadah, dan muamalah seperti yang dituntut oleh syariat Islam. Dengan demikian, diharapkan tiap anak didik dapat beriman, beribadah, dan bekerja sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, anak-anak yang belajar pada tingkat dasar (pendidikan di rumoh (rumah) dan Meunasah dipergunakan Quran ubit (Quran kecil), yaitu kitab berisi huruf-huruf Al Quran berdasarkan kaidah Baqdadiyah yang pada bagian akhir telah ditambah Jus ketiga puluh dari kitab Al Quran. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengajian Al Quran 30 Juz, yang dalam bahasa Aceh disebut Quran Rayeuk (mengaji Quran Besar). Pendidikan tingkat dasar ini diakhiri dengan mempelajari beberapa kitab berbahasa Melayu yang dalam bahasa Aceh disebut kita Jawoei (Jawi). Adapun kitab-kitab ini antara lain ialah Masailal Muhtadi, Bidayah dan kitab Majemuk atau lebih dikenal dengan kitab Lapan. Isinya meliputi dasar-dasar rukun Islam dan Fiqh, yang merupakan kupasan ringkas tentang prinsip-prinsip pokok doktrin Islam serta kewajiban-kewajiban umat Islam. Selain mempelajari pokok-pokok ajaran Islam, pada lembaga pendidikan Meunasah anak-anak juga diajarkan berbagai jenis kesenian yang bernafaskan Islam antara lain: Qasidah, meurukon, rapai, dalael, dikee rayeuk (zikir besar), dike mulod (zikir maulid), dan sebagainya.

Pada tingkat pendidikan rangkang dan dayah diajarkan bahasa Arab yang dititikberatkan pada tata bahasa (Qawa’id), agar si murid dapat memahami kitab-kitab yang digunakan untuk mempelajari bahasa Arab yang berisi Saraf dan Nahwu adalah: kitab Nizam (Tsummum Raf’un), Matan Binak, ‘Awamil, Matan Al-Ajrumiah, Mutamimah, dan kitab Alfiah. Selain itu, diajarkan berbagai ilmu yang mandiri, seperti Fiqh, Tafsir, Hadist, Tasauf, Akhlak, Tauhid, Matiq, Ilmu Hisab, dan lain sebagainya. Kitab-kitab yang digunakan sehubungan dengan ilmu-ilmu ini semuanya berbahasa Arab. Di antaranya, kitab Bajuri, Matan Minhaj, Fathulmu’in, Fathul Wahab (untuk ilmu Fiqih), kitab Aljajalain, Ahawi (ilmu Tafsir), kitab Ihya’ulumuddin karya Imam Ghazali (untuk Tasawuf).

Berapa jumlah dayah di Aceh pada abad ke-19 tidak diketahui secara pasti. Namun menurut tradisi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, di setiap nanggroe sekurang-kurangnya memiliki sebuah dayah. Pada masa kolonial Belanda unit pemerintahan nanggroe dirubah menjadi landschap yang jumlahnya 129 buah. Dengan demikian, jumlah dayah diperkirakan setidak-tidaknya juga 129 buah.

Sejumlah dayah yang berkembang pesat selama abad ke XIX antara lain: Dayah Teungku Chiek Tanoh Abee, Dayah Teungku Chiek Kuta Karang, Dayah Lam Birah, Dayah Lam Nyong, Dayah Lam Bhuk, Dayah Krueng Kalee, Dayah Lam Krak, Dayah Lam Pucok, Dayah Lam U, Dayah Teungku Chiek di Tiro, Dayah Teungku Chiek Pante Kulu, Dayah Teungku Chiek Pante Geulima, Dayah Rumpet di Kuala Daya, Dayah Meunasah Blang, Dayah Cot Meurak, dan Dayah Pulo Baroh. Sejak kapan mulai didirikan dayah-dayah tersebut diatas, belum diketahui secara pasti. Namun beberapa diantaranya dapat diketahui, misalnya Dayah Teungku Chiek Tanoh Abee. Berdasarkan beberapa sumber, dayah ini didirikan pada awal abad ke XIX, oleh ulama yang berasal dari Baghdad, bernama Syekh Idrus Bayan atas perintah Sultan Mahmud Syah (1824-1936). Syekh Idrus Bayan kemudian dikenal sebagai Teungku Chiek Tanoh Abee. Sesudahnya, berturut-turut yang memimpin dayah ini, yaitu Syekh Abdul Hafidh, Syekh Abdurrahim, Syekh Muhammad Saleh, san Syekh Abdul Wahab yang juga bergelar Teungku Chiek Tanoh Abee.

Dayah Teungku Chiek Kuta Karang agaknya didirikan pada bagian kedua abad XIX, oleh Syekh Abbad Ibnu Muhammad yang populer dengan sebutan Teungku Chiek Kuta Karang, yang pada waktu itu, menjadi Kadhi Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1857-1870). Dayah Teungku Chiek di Tiro Pidie merupakan salah satu dayah yang cukup terkenal di Aceh. Dayah ini mencapai kemajuan pesat pada masa pimpinan Muhammad Saman (1839-1891) yang populer dengan sebutan Teungku Chiek di Tiro, salah seorang ulama penggerak perang sabil dalam melawan Belanda. Demikian pula dengan Teungku Chiek Pante Kulu yang mengelola dayah Pante Kulu, sebagai pengarang sejumlah Hikayat Perang Sabil dalam rangka membangkitkan semangat juang rakyat Aceh.

Selama perang melawan Belanda mulai 1873 dayah-dayah di Aceh memegang peranan penting dalam pengerahan tenaga juang terutama murib-murib dan masyarakat sekitar dayah ke medan peperangan. Dalam menumbuhkan semangat juang rakyat, terutama dlam membentuk motivasi keagamaan, terutama melalui ajaran perang sabil, peranan dayah-dayah sangat besar. Oleh karenanya, tidak mengherankan pada akhir abad ke XIX banyak dayah yang terbengkalai akibat mendapat serangan Belanda karena dianggap sebagai basis konsentrasi kekuatan pejuang rakyat. Baru sesdudah perang mereda para ulama (Teungku chiek) yang masih ada berusaha membangun kembali dayah-dayah yang telah ditinggalkan.

Islam Dengan Nuansa Ke-Acehan

Salah satu ciri yang sangat menonjol dari sistem pendidikan keagamaan di Aceh ialah para murib (murid) mempunyai ikatan emosional yang kuat dan ketat dengan guru-guru mereka. Guru bagi mereka (murib) merupakan seorang yang maksum tidak pernah salah dan tidak pernah berbuat dosa. Kesetian dan ketaatan kepada guru ini dibentuk sedemikian rupa semenjak hari-hari pertama si murib memasuki lembaga pendidikan keagamaan itu, khususnya dayah. Dalam perkembangan selanjutnya murib ini ditempa melalui pengajian kitab-kitab yang dipergunakan sebagai bacaan wajib setiap jenjang pendidikan di dayah. Pada umunya kitab-kitab ini yang dijadikan pegangan kitab mazhab Syafi’e. Dalam hal ini terdapat ketegasan yang luar biasa ketatnya, yaitu para murib tidak dibenarkan membaca kitab-kitab lain yang diluar mazhab Syafi’e. Oleh karena itu, setiap teungku alumni dayah di Aceh tidak ada yang tidak mengenal karya-karya besar dari mazhab tersebut, seperti Al-Muhazab dan Minhaj-attalibin karangan Imam Nawawi, kitab Tugfah karya Syekh Ibnu Hajar dan kitab Hinayah buah tangan Syekh Ramli serta Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali.

Adapun para ulama yang dipandang berjasa dalam melahirkan para penganut dan pejuang ajaran Mazhab Syafi’e di Aceh diantaranya adalah Teungku Chiek Muhammad Amien Awe Geutah, Teungku Syekh Abdul Azis Samalanga, Teung Krueng Kalee, Teungku Krueng Lintang, dan kemudian Teungku Haji Muda Wali Labuhan Haji. Murib-murib para ulama besar inilah yang selanjutnya berperan besar dalam sejarah perkembangan keagamaan di Aceh. Mereka sebagai ulama dayah sangat berpengaruh dan dekat dengan rakyat pada gampong-gampong di seluruh Aceh.

Suatu kenyataan pula bahwa dalam masyarakat Aceh terdapat pengaruh paham syiah. Bulan Arab Muharram oleh rakyat Aceh dinamakan buleun Asan Usen (bulan Hasan Husen): yang pada setiap sepuluh Muharram dirayakan dengan kenduri di meunasah-meunasah dalam rangka wafatnya Hasan dan Husen cucu Nabi Muhammad yang oleh kaum Syiah sangat dimuliakan. Selain itu, pemakaian Syah pada sebahagian besar nama Sultan Aceh, seperti Sultan Mansyur Syah, Sultan Mahmud Syah, Sultan Daud Syah, dan lain-lain juga sebagai bukti adanya pengaruh Syiah itu.

Paham sufi atau lazim disebut dengan Tasawwuf yang istilah Aceh disebut dengan Teusawoh juga mendapat tempat dalam masyarakat Aceh. Syekh Abdul Kadir Jailani sebagai pendiri paham Tasawwuf dengan Tharikat Qadariyah yang bermakam di Baghdad dipandang sebagai Khatamal Aulia. Penutup dari segala wali. Tasawuf dipandang sebagai unsur tertinggi dan terpenting dalam pendidikan keagamaan/spritual umat manusia, karena pengetahuan sejati tentang Tuhan dan masyarakat umat manusia dapata muncul daripadanya. Beberapa aliran Tasawuf (Tharikat) seperti Syattariah dan Naqsabandiyah diciptakan oleh As-Syattari dari Mekkah, kemudian dipopulerkan oleh Ahmad Qashashi. Di Aceh tharikat ini dikembangkan oleh Syekh Abdurrauf yang dikenal dengan Syiah Kuala. Tharikat Naqsabandiyah diciptakan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Bukhari. Untuk pelaksanaan praktik tharikat di beberapa dayah di Aceh ada yang menyediakan tempat khusus untuk melakukan Khaluat, yang istilah Aceh disebut Kalut (semacam semedi) bagi para pengikut sesuatu aliran tharikat, dalam usaha menyatukan diri dengan penciptanya, kalut yang dipraktikkan pada dayah di Aceh biasanya dilakukan sebanyak empat puluh empat hari, yang dimulai pertengahan bulan Syakban dan berakhir pada malam hari Raya Idul Fitri. Di samping itu, ada juga yang melakukannya dengan berzikir pada malam-malam tertentu.

Di aceh pada abad ke XIX juga berkembang pula tharikat Saleek Buta. Tahrikat Saleek adalah pelintas di jalan yang benar menuju puncak tertinggi. Dlaam ungkapan Aceh populer secara khusus menggunakan eleumee (pelajaran saleek). Ajaran tharikat saleek di Pidie dipopulerkan oleh Teungku Teureubue, yang diikuti oleh ratusan orang, baik laki-laki maupun perempuan, di Aceh barat ajaran saleek seperti ni dikembangkan di Seunangan oleh seseorang yang terkenal dengan nama Habib Seunangan. Oleh fatwa Ulama Pidie, yang menilai bahwa jaran saleek adalah ajaran sesat dan orang yang mengerjakannya menjadi murtad.

    Meskipun secara keseluruhan rakyat Aceh penganut agama Islam, namun bukan berarti semua mereka juga taat menjalankan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Sebagian di antara mereka sekadar fanatik saja terhadap agama Islam. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah rasa orang Aceh sangat pantang bila seseorang dikatakan ia itu bukan Islam, apalagi bila disebut kaphé (kafir).

Sumber: “ADAT DAN BUDAYA ACEH”

Ada Komentar?